PEREMPUAN, KEDUDUKAN DAN BUDAYA PATRIARKI

by - Desember 12, 2020


Akhir-akhir ini pembicaraan soal budaya patriarki cukup menarik dan sering muncul di media sosial. Awalnya nggak ngerasa begitu terkena oleh dampaknya,  tapi kalau dipikir-pikir ternyata selama ini cukup terdampak. Mungkin karena hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang seolah-olah normal di lingkunganku dan kebetulan belum ada yang pernah speak-up, jadi aku kurang menyadarinya. 

Banyaknya gerakan feminisme membuatku sadar, kalau banyak perempuan-perempuan diluar sana yang ingin memperjuangkan hak mereka untuk memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Aku rasa gerakan berbau feminisme itu nggak ada tanpa penyebab. Tapi setelah aku cari dan mendengarkan suara-suara perempuan dari berbagai platform seperti maraknya kekerasan, kesenjangan kedudukan dalam dunia kerja, intimidasi terhadap perempuanaku setuju dengan kesetaraan gender yang seharusnya diperjuangkan. 

Tentang perbedaan gender
Bukan sesuatu yang asing terdengar kalau di lingkungan kita perempuan seolah-olah memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Nggak tau pasti penyebabnya apa, tapi aku sering dengar kalau perempuan adalah kaum yang lebih lemah dari laki-laki. Kalau yang aku tangkap, lemah dalam artian ini adalah lemah secara fisik dan lemah secara mental. Padahal, belum tentu begitu benarnya. Stigma-stigma itu muncul karena sudah terlalu melekat di pikiran masyarakat.

Aku masih ingat kalau setahun lalu saat pemilihan ketua di suatu komunitas, orang-orang terdekatku bilang kalau calon-calonnya hanya bisa diperankan oleh anggota laki-laki saja. Saat aku tanya penyebabnya, beberapa dari mereka mengatakan kalau perempuan terlalu memakai perasaan dalam hal apapun, sehingga dikhawatirkan tidak cukup kuat memimpin suatu program kerja yang dirasa cukup berat dan menantang. Pikiran-pikiran yang belum tentu mutlak benar tersebut bisa berpengaruh besar terhadap suatu hal seperti dalam memilih pemimpin. Padahal dalam dunia profesional, baik perempuan atau laki-laki seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi leader. Kemampuan memimpin seharusnya dipertimbangkan dari kapabilitas seseorang, namun mengapa masih sering dikaitkan dengan perbedaan gender?

Hal yang cukup mengganggu lainnya ketika masyarakat secara tidak langsung membatasi perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi dengan alasan takut tidak 'laku' atau tidak ada yang ingin menikahi. Pun juga sering menjadi bahasan diskusi tentang bagaimana perempuan mengambil peran ketika sudah menikah atau berkeluarga. Laki-laki sebagai kepala keluarga berhak melakukan apapun yang diinginkan, sedangkan perempuan memiliki batasan-batasan untuk menjalani hidupnya. Namun buruknya, budaya itu bisa membuat laki-laki menjadi seenaknya mengatur-ngatur istrinya tanpa memenuhi hak-haknya, atau bahkan bisa jadi menyakiti istrinya karena merasa diri sendiri paling berkuasa. Dalam kehidupan masyarakat, perempuan yang seolah-olah ditakdirkan memiliki banyak batasan serta laki-laki yang ditakdirkan memiliki kebebasan itu real & masih eksis hingga saat ini. 

Mungkin sering terdengar juga kalau perempuan hidup untuk menikah dengan laki-laki. Seolah-olah, tujuan hidup perempuan adalah untuk menikah dan menjadi istri. Padahal, tujuan setiap orang hidup di dunia ini adalah untuk menjadi bermanfaat. Pun ketika perempuan memutuskan untuk menikah dan berkeluarga, tujuan hidupnya adalah tetap untuk menjadi bermanfaat. Baik bermanfaat untuk keluarganya, untuk lingkungannya, atau untuk dirinya sendiri. Nggak seharusnya mengutamakan pernikahan sebagai tujuan hidup perempuan. Kalau orang-orang sekitar banyak yang bilang perempuan harus segera menikah sebelum umur sekian sesuai standart masyarakat, aku kira itu salah dan nggak seharusnya seseorang mengatur pilihan hidup orang lain untuk bagaimana dan menjadi apa. Sebab, selama pilihan hidup seseorang tidak merugikan orang lain, apa yang perlu dipermasalahkan?

Keep being positive!

With Love, Tara.

You May Also Like

0 komentar

Hello, with my pleasure if you leave comments :)