KETIKA MENGINJAK USIA 20 TAHUN

by - September 24, 2020


Katanya, usia 20 tahun adalah gerbang menuju kehidupan orang dewasa. Bukan karena memang seperti itu adanya, tapi angka depan usia untuk pertama kalinya berganti menjadi 2. Padahal, kedewasaan nggak hanya diukur dari sekedar angka aja kan? Tapi sebagai orang yang sudah menginjak angka spesial itu, aku cukup setuju.

Gerbang menuju kedewasaan?
Mulai kerasa dari umur 18 tahun, tepatnya sejak awal kuliah. Mungkin karena lingkungan yang sudah beda dan didominasi oleh orang-orang yang menuju dewasa atau bahkan sudah dewasa. Mau gak mau, aku harus mengikuti dua pilihan. Mengikut arus lingkungan sekitar.. atau tetap dengan diriku yang sebelumnya. 

Nggak langsung instan bisa merasa dewasa, banyak proses yang dilalui. Jatuh, bangun, jatuh lagi, malu, takut, ngerasa dibenci, hilang kepercayaan diri, kosong, melihat sesuatu secara berlebihan, nangis, terpuruk berlarut-larut. Harusnya bisa bahagia, tapi tertutup dengan pemikiran-pemikiran drama yang membawa aura negatif ke diri sendiri. Dua tahun ini - terutama satu tahun terakhir, tiba-tiba kehilangan diri sendiri. Diri sendiri aja bukan jadi miliki sendiri, apalagi bisa menyadari kehadiran orang lain. Rasanya kadang butuh banget yang namanya teman, tapi tiba-tiba suka nggak toleran dengan kehadiran orang lain. Rumit, tapi bersyukur nggak pernah berada di titik menyerah. 

Mungkin proses setiap orang berbeda dan semakin kesini semakin paham kalau tugas manusia adalah melalui proses-proses itu dengan berusaha. Walaupun kadang berat dan nggak sanggup, tapi tetap harus dihadapi, kan? Kalau berbicara soal sempat ingin menyerah atau nggak, jawabannya pernah. Tapi kembali lagi dengan mimpi-mimpi yang yang pernah disusun, kembali lagi mengingat orang-orang yang setia mendoakan diri sendiri setiap malam. 

Menurut pengalamanku, aku sepakat kalau usia 20 tahun adalah gerbang menuju kedewasaan. Kalau ditanya apakah sudah merasa dewasa atau belum, jawabannya adalah belum. Masih terlalu jauh untuk dikatakan dewasa. Tapi, sedikit demi sedikit udah mulai 'paham' ketika menghadapi apapun dan siapapun. 

Belajar mengatur emosi
Hal yang paling sulit sih, menurutku. Sebenarnya dari dulu jarang marah. Kalau emosi, hanya diam dan overthinking berkepanjangan. Sekarang, mulai belajar untuk nggak suka overthinking lagi. Mulai belajar memilah, apa yang perlu dipikirkan dan apa yang perlu dilupakan. Dulu kalau ada orang yang ngomong sesuatu dan menyinggung, selalu jadi bahan pikiran semalaman. Berpikir, apa benar aku seburuk itu? apa benar aku sebodoh itu?  dan banyak asumsi-asumsi lain yang ujungnya cuma jadi toxic di pikiran sendiri. Atau mungkin setelah melakukan atau mengatakan sesuatu ke orang lain, tiba-tiba berpikir: dia sakit hati nggak ya? tadi aku salah nggak ya? dia marah nggak ya? dan ujung-ujungnya minta maaf padahal sebenarnya nggak salah apa-apa. 

Sekarang, punya pemikiran lebih ke 'ya udah, nggak papa' atau 'sabar aja, masih banyak hal lebih penting untuk dipikirkan'. Walaupun nggak semudah itu, tapi kalau udah terbiasa bakal ngefek banget. Selain karena memang seharusnya seperti itu, beban pikiran jadi berkurang, hari-hari jadi lebih tenang dan mengarah ke bisa memprioritaskan suatu hal penting untuk dipikirkan dan diselesaikan. Lebih tepatnya, nggak buang-buang waktu lagi karena hal-hal sepele yang menjadi toxic di pikiran. 

Pikiran semakin rumit
Kalau sebelumnya rumit karena hal-hal yang gak penting, kali ini pikiran dipenuhi oleh hal-hal penting yang mengarah ke masa depan. Perkuliahan, target pencapaian, mau jadi apa, rencana hidup jangka panjang adalah hal-hal yang hampir setiap hari terlintas dipikiran. Apalagi usia 20 tahun tepatnya datang ketika masuk semester 5, semester yang katanya inti dari perkuliahanku. Tugas bejibun, target-target mulai memberontak untuk dipenuhi dan rencana setelah perkuliahan yang udah harus disiapkan dari saat ini juga. Kalau dipikirkan lebih dalam bakal bikin pusing, tapi seru juga hihihi. 

Nggak hanya cukup dipikirkan, masa-masa saat ini juga dituntut untuk memulai tindakan. Satu persatu mulai dicicil untuk mencapai target-target. Sedikit capek dan kadang menguras tenaga, tapi perlahan mencoba untuk tetap enjoy dan nggak sering mengeluh lagi. Kalau dipikir-pikir, dengan mengeluh terkadang bisa jadi membuat hati lega. Tapi percuma juga kalau cuma mengeluh tanpa melakukan apa-apa. 

Memprioritaskan diri sendiri
Tapi kan nggak boleh egois? No, definisi egois dalam artian ini berbeda. Dulu, apa-apa dilakukan dengan serba 'nggak enakan' ke orang lain. Sampai-sampai karena merasa perlu banget mendahuluan orang lain, kepentingan diri sendiri jadi korbannya. Menjadi baik ke orang lain memang perlu, tapi hal itu akan menjadi suatu keharusan ketika kepentingan-kepentingan diri sendiri sudah terselesaikan. Waktu, tenaga dan pikiran kita adalah miliki kita sendiri. Absolutely, kita sendiri yang berhak mengatur itu semua. Satu yang mulai tertanam dipikiranku saat ini: kebahagiaan orang lain adalah tanggung jawab masing-masing orang, kebahagiaan diri sendiri adalah tanggung jawab diri sendiri. Kali ini mulai berhenti meletakkan ekspektasi yang tinggi kepada orang lain. Mungkin kadang pernah berharap, tapi dengan kadar sewajarnya aja. 

Huaa, nggak tau habis nulis apa. Kadang mungkin opiniku bisa benar, kadang juga bisa nggak. Semua tergantung dari cara pandang masing-masing orang sih. Tapi yang terpenting dari semuanya adalah kita harus selalu menikmati setiap proses. Hidup nggak terasa rumit ketika menginjak usia 20 tahun aja, bahkan mungkin apa yang kita rasain di masa-masa ini nggak ada apa-apanya dibandingkan tantangan-tantangan hidup yang bakal kita hadapi kedepannya. Tetap semangat dan bahagia yaaa, teruntuk kita^^

With Love, Tara. 

You May Also Like

2 komentar

  1. Masuk 20 ya masuk ke kedewasaan dan memang ya kerasa banget ,apa lagi aku sekarang dah 23 haha

    BalasHapus

Hello, with my pleasure if you leave comments :)